Lencana Facebook

sosial ekonomi

Senin, 15 Juni 2009

sosial masyarakat ekonomi nelayan

Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

1. Ketergantungan Terhadap Sumberdaya Alam

Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : Pertama, secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota, baik propinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 % pada tahun 1998 dan (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung.
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar 81.000 km (13,9 % dari panjang pantai dunia) dan ; (b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 juta km2 termasuk ZEEI; (c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan (d) Dalam wilayah tersebut terkandung potensi kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya yang terdiri atas potensi sumberdaya alam pulih (renewable resources) seperti perikanan, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang) maupun potensi sumberdaya alam tidak pulih (non renewable resources) seperti migas, mineral atau bahan tambang lainnya serta jasa-jasa lingkungan (environmental services), seperti pariwisata bahari, industri maritim dan jasa transportasi.



Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan modal pembangunan yang dapat dikelola untuk menyediakan barang dan jasa (goods & services) bagi kemakmuran masyarakat dan bangsa. Dilihat dari potensi dan kemungkinan pengembangannya, wilayah pesisir memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional, apalagi bangsa Indonesia saat sekarang sedang mengalami krisis ekonomi. Peranan tersebut tidak hanya dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi (growth), tetapi juga dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan pemerataan kesejahteraan (equity). Namun demikian, peranan tersebut tidak akan tercapai dengan baik apabila mengabaikan aspek kelestarian lingkungan (environmental sustainability) dan kesatuan bangsa (unity).

2. Ciri Khas Wilayah Pesisir
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain.
Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering tidak mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), kecuali pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti Ambon dengan kelembagaan sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-awig dan Sangihe Talaud dengan kelembagaan Maneeh.
Dengan karaktersitik yang khas dan open access tersebut, maka setiap pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya timbul konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan sumberdaya serta sangat mudah terjadinya degradasi lingkungan dan problem eksternalitas.

3. Karateristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Mata pencaharian : sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base), seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), Kemiskinan masyarakat nelayan (problem struktural), penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagai contoh : Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa, sekitar 71,64 % merupakan nelayan (Tahun 2001).
Tingkat pendidikan : sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai contoh : penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara (Tahun 2001) sekitar 70,10 % merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dan sejalan dengan tingkat tersebut, fasilitas pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Lingkungan pemukiman : kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh.
Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraa rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan pokoknya.

4. Model dan Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Wilayah
Model perencanaan : perencanaan masih bias ke up land, meski ada pengakuan hukum tentang ruang laut (UU No. 24/1992 tentang penataan ruang). Ruang kawasan pesisir termasuk ruang kawasan tertentu yang perencanaan dan penataannya terkait dengan produk tata ruang nasional, propinsi dan kabupaten. Model perencanaan up land menganggap wilayah pesisir given (padahal banyak interaksi ekonomi dan ekologis) contoh : teori land rent dan teori lokasi. Sebagai contoh, banyak kota besar di Indonesia yang terletak di pantai mempunyai perencanaan tata ruang yang bias ke darat. Model perencanaan yang diperlukan adalah integrasi antara up land dengan wilayah pesisir dan laut untuk membentuk an area development planning guna mencapai sustainability development (growth, equity and environmental sustainability), regional stability and nation unity.
Proses perencanaan : Proses perencanaan selama ini bersifat sentralistik (top down panning). Proses perencanaan yang diperlukan adalah pendekatan perencanaan koordinatif-desentralistik untuk menampung berbagai aspirasi stake holder dengan menerapan strategic development panning dan public choice.
Output perencanaan : Hasil perencanaan masih belum diimplementasikan secara optimal mengingat masih banyaknya tumpang tindih bentuk perencanaan dari berbagai instansi serta belum diakui oleh seluruh stake holder. Dengan perkataan lain belum menjadi pegangan bagi setiap pihak yang berkepentinngan.
Dari hal tersebut diatas, maka setiap langkah pembangunan, termasuk sektor swasta akan menemui kendala dan pada gilirannya sumberdaya alam dan lingkungan akan mengalami tekanan yang besar.

5. Sifat dan Proses Perusakan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Permasalahan yang dihadapi dalam kerusakan sumberdaya dan lingkungan dicirikan oleh sifat dari proses perusakannya yang berjalan relatif perlahan, namun dampaknya kebanyakan bersifat menyebar dan komulatif, sehingga pada suatu saat akan terjadi krisis yang penangulangannya dulit dan mahal. Sedangkan sifat pembuat aktivitas yang memberikan dampak negatif pada umumnya merupakan golongan yang kuat secara sosial, ekonomi dan politik, yang mempunyai limpahan dan property right yang unggul. Sedangkan penerima dampak merupakan golongan miskin yang lemah hak-haknya. Dengan demikian disparsitas hak-hak merupakan dapat menimbulkan perusakan lingkungan.
Masalah kekurangan dalam sistem penilaian terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dalam sistem ekonomi dan masyarakat, juga menjadi penyebabkan kerusakan. Berlainan dengan jenis sumberdaya alam lainnya (antara lain sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang selalu diperhatikan oleh perencana ekonomi), sumberdaya alam mengingat nilai-nilai dan jasa-jasanya tidak dihitung dalam sistem ekonomi pasar, maka nilainya tidak didaftar dalam PDB dan PDRB, sehingga pemeliharaannya dapat terabaikan. Padahal sumberdaya alam dan lingkungan memilii pernan penting dan terjadinya kerusakan akan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional dan regenional dan pada gilirannya akan mempertajam tingkat kesejahteraan dan perbedaaan tingkat hidup antar golongan masyarakat.
Ekologi, ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dapat memiliki keterkaitan yang penting. Mengingat adanya sistem pendukung penghidupan semesta, yaitu ekosistem yang dapat menentukan ekonomi dunia. Bila lingkungan fisik digambarkan sebagai kumpulan kemungkinan penggunaan, maka pada dasarnya ditentukanlah hubungan ekonomi dan ekologi. Kemungkinan-kemungkinan penggunaan tersebut disebut sebagai fungsi-fungsi lingkungan dan mungkin akan bersaing satu sama lain. Bila tahap tersebut tercapai, maka unsur konflik sejalan dengan konsep permukaan kelangkaan (scarcity) dan karenanya lingkungan akan mempunyai aspek ekonomi. Ekonomi akan menjadi bahasan penting bila menyangkut kelangkaan dan kompetisi. Konflik tersebut tampaknya akan mempunyai sifat antar generasi, yang mempunyai pilihan antara memaksimumkan produksi atau pertumbuhan jangka pendek tak berkelanjutan atau menggunakan fungsi lingkungan tersebut dengan cara yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa manifestasi ekonomi dari kejadian kerusakan lingkungan dapat menjadi indikator penting bagi perlunya penentuan kebijakan yang diarahkan pada pembanguan yang berkelanjutan.
Adanya prilaku produsen yang memaksimumkan keuntungan di salah satu sisi dan prilaku konsumem yang memaksimumkan utilitasnya di sisi lain dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat open access dan tidak dihitung dalam sistem pasar dapat mengakibatkan alokasi sumberdaya dan lingkungan secara ekonomi tidak efisien. Oleh karenanya, diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatur alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, upaya-upaya tersebut sering menemui hambatan karena pelaku ekonomi dan pemerintah memiliki cara pandang yang berbeda dan informasi yang terbatas tentang nilai ekonomi dari sumberdaya alam tersebut. Oleh karenanya penilaian terhadap sumberdaya yang tidak dipasarkan (non market valuation) perlu dilakukan agar tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan dapat tercapai.
Pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan (selain ekonomi) dapat dilihat dari kenyataan bahwa sumberdaya pesisir mempunyai peranan penting dilihat dilihat dari segi ekologis, diantaranya sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia kebutuhan hidup bagi hewan. Sebagai contoh ekosistem hutan mangrove mempunyai keragaman biologi yang tinggi, yang anggota-anggotanya telah mampu beradaptasi dengan perubahan salinitasi yang tinggi dan beberapa biotanya memiliki nilai ekonomis tinggi seperti udang, ikan dan kepiting juga mempunyai fungsi ekologis sebagai nursery ground berbagai ikan dan udag (Muchsin, 2000) serta dapat menahan abrasi laut. Hasil studi Paryono T.J dkk (1999), menyebutkan bahwa nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Segara Anakan pada tahun 1999 sebesar Rp 140.880.427.700/tahun atau rata-rata Rp 8.188.980/ha/tahun. Demikian juga ekosistem terumbu karang (coral reefs) selain memiliki sumberdaya yag dapat dimanfaatkan untuk konsumsi dan sebagai objek wisata, khususnya wisata selam, juga mempunyai fungsi ekologis antara lain tempat mencari makanan, tepat berkembang biak, tempat asuhan nursery ground, dan tempat memijah (Soedharma, 2000).
Dengan memperhatikan akan arti pentingnya sumberdaya alam pesisir baik untuk masa sekarang dan akan datang yang diiringi dengan masalah degredasi, maka diperlukan upaya pengelolaan sumberdaya yang berlandaskan pada penilaian sumberdaya itu sendiri melalui metodologi valuasi ekonomi. Sehingga kinerja ekonomi yang buruk akibat sistem ekonomi yang salah urus, yang tercermin dari kegagalan kebijakan pemerintah (government failure) terutama campur tangan yang menyebabkan distorsi dalam sistem ekonomi dan teratasi. Valuasi Ekonomi (VE) merupakan komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang mengikuti perdebatan analisis ekonomi serta lingkungan (economic cum environmental, ECE) yang mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara terintegratif (ADB dalam Sanim, 1996)

Readmore »»

Selasa, 30 Desember 2008

torres

Readmore »»

Senin, 27 Agustus 2007

rumput laut,alternatif yang terlupakan

Halal Guide – Di Jepang bahan makanan ini cukup populer, bahkan di China bahan makanan ini dikategorikan makanan istimewa yan gpantas disuguhkan untuk kaisar. Selain sebagai makanan, produk ini juga digunakan sebagai obat-obatan. Bahan makanan tersebut adalah rumput laut atau alga yang juga dikenal dengan nama seawed. Seawed atau alga ini merupakan bagian terbesar dari tanaman laut. Di Indonesia pun penduduk yan ghidup disekitar pantai telah memanfaatkan rumput laut dalam berbagai bentuk dan keperluan misalnya sebagai lalap, dibuat sayur, acar, kue, manisan dan puding serta sebagai obat-obatan.
Di jepang rumpul laut ini dinamakan antara lain sebagai hijiki, nori, wakane, arame, tenguse, dan kambu.

Rumput Laut dan Nilai Gizi

Rumput laut sebagai bahan pangan memiliki kandungan utama karbohidrat. Namun karbohidrat yang terdapat dalam bahan pangan ini sebagian besar terdiri dari senyawa gumi yang tidak dapat dicerna dalam pencernaan manusia. Sedangkan kandungan protein dan lemak pada rumput laut juga sangat kecil. Rumput laut yang memiliki kadar air sekitar 80-90%, memiliki kandungan mineral yang sebagian besar terdiri dari natrium dan kalsium. Selain itu kandungan trace elemen yang terpenting bagi manusia terdapat pada rumput laut adalah yodium.

Kemungkinan alasan terakhir inilah yang menyebabkan penyakit gondok akibat kekurangan yodium jarang diderita atau dijumpai pada penduduk Jepang dan China. Di Jepang per satu juta penduduk, hanya terdapat 1 orang penderita.

Pengolahan Rumput Laut

Pengolahan rumput laut yang ada di Indonesia hingga saat ini, baru sampai pada tingkat pembuatan agar-agar. Sedangkan proses pengolahan yang menghasilkan karagenan dan algin atau alginat belum mampu dilakukan (Winarno, 1990)

Dari rumput laut dapat diperolah beberapa keperluan bagi industri pangan. Getah rumput laut misalnya, merupakan bahan mentah bagi agar-agar karagenan serta fucellaran. Yang disebut karagenan apabila kandungan sulfat minimalnya sebanyak 18% dari berat keringnya, sedangkan fucellaran memiliki kandungan sulfat 8-9%.

Readmore »»

sektor riil NTT Masih sebatas wacana

Sebagai daerah kepulauan dengan karakteristik setiap daerah yang berbeda, NTT sangat potensial untuk pengembangan sektor riil. Flores dengan potensinya di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan; Timor dengan potensi peternakan dan perkebunan; Sumba dengan potensi peternakan, pertanian dan perkebunan.

Demikian juga dengan pulau-pulau kecil seperti Rote, Sabu dan lainnya. Di Flores ada kacang mete, ikan, pisang, jagung dan singkong. Di Sumba dan Rote ada kacang tanah, rumput laut, di Alor ada kenari, cendana, di Timor ada sapi, cendana, gaharu dan juga rumput laut yang memiliki kualitas lebih baik dari daerah lain. Cendana merupakan tanaman khas NTT yang tidak ditemukan di daerah lain. Demikian juga kenari.
Lalu mengapa sektor riil di NTT tidak jalan atau masih sebatas wacana? Jambu mete dan kayu cendana atau rumput laut yang dikirim dalam bahan baku mentah harganya jauh lebih murah dan tidak memberikan efek ganda bagi masyarakat di daerah ini. Padahal, jika diberi sentuhan teknologi, potensi yang ada bisa menjadi produk dengan nilai jual tinggi.
Cendana misalnya, tidak lagi dikirim dalam bentuk gelondongan tetapi dalam bentuk minyak cendana, produk kerajinan dan lain-lain. Rumput laut diolah menjadi tepung agar-agar atau bahan dasar kosmetika atau produk lainnya. Begitu pun mete tidak lagi dalam bentuk gelondongan tetapi dalam bentuk kacang mete siap saji. Di sisi lain, belum adanya keberanian dari pengusaha maupun perbankan untuk berinvestasi di sektor riil karena alasan risiko tinggi. Akibatnya, potensi-potensi yang ada sifatnya sporadis karena dihasilkan dengan pola tradisional dari lahan-lahan rakyat.
Kondisi ini menimbulkan biaya tinggi dan tidak bisa menjamin kontinuitas produksi. Padahal, kalau potensi yang ada dirumuskan dalam bentuk perkebunan, kendala yang ada bisa diatasi. Jagung, misalnya, meskipun semua daerah di NTT cocok untuk tanaman ini, namun belum ada satu pun pengusaha yang berinvestasi untuk pengembangannya. Demikian juga rumput laut, kakao, kacang tanah, mente, cendana dan lain-lain.
Padahal dana yang mengalir ke daerah untuk pengembangan sektor riil begitu banyak. Peningkatan pertumbuhan sektor riil sebagai dasar struktur ekonomi nasional memang tidak bisa menjadi tanggung jawab satu pihak semata. Perbankan begitu ketat dan selektif memberikan kucuran kredit untuk investasi di sektor riil karena trauma masa lalu.
Dimana, begitu banyaknya kredit macet ketika terjadi krisis ekonomi melanda negeri ini pada tahun 1997. Apalagi, saat ini seorang pejabat perbankan juga bisa masuk penjara karena kredit macet. Selain itu, rendahnya minat perbankan untuk membiayai investasi di sektor riil juga karena kurangnya pengetahuan perbankan terhadap sektor dan prospek investasi yang akan dibiayainya.
Sementara pihak pengusaha atau investor tidak mungkin bergerak tanpa dukungan dana dari perbankan. Di lain pihak jiwa entrepreneur masyarakat NTT yang masih rendah serta pola hidup konsumeristik masyarakat juga merupakan suatu kendala berkembangnya sektor riil di NTT.
Akibatnya, banyak dana yang mengalir ke masyarakat baik dari perbankan, badan usaha milik negara (BUMN) dalam bentuk kredit lunak dan dana-dana untuk usaha ekonomi produktif dari dinas/instansi pemerintah yang diberikan dalam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM) tidak memberikan nilai tambah apa-apa. Bahkan banyak dana yang dikucurkan tersebut macet karena digunakan tidak sesuai peruntukannya.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia Cabang Kupang, sampai triwulan kedua tahun 2005, pangsa pasar atau share market pemberian kredit di di NTT 64,88 persen atau Rp 1,541 miliar dari Rp 2,375 miliar total kredit yang disalurkan perbankan di NTT merupakan kredit konsumsi sebagian besar masih didominasi kredit konsumsi, diikuti kredit modal kerja Rp 611 miliar.
Sedangkan kredit investasi hanya Rp 223 miliar atau 9,39 persen. Untuk sektor industri sendiri, kredit yang terserap hanya Rp 177 miliar. Dilihat dari perkembangan pemberian kredit memang ada peningkatan dari tahun ke tahun. Dari Desember 2004 hingga Agustus 2005 kredit yang disalurkan perbankan di NTT meningkat 17,3 persen. Peningkatan jumlah kredit yang disalurkan tersebut juga turut mendongkrak loan to deposit ratio (LDR) perbankan di NTT.
Disebutkan, dalam kurun waktu Desember 2004 sampai dengan Agustus 2005, LDR meningkat 54,9 persen. Meski ada peningkatan total kredit yang disalurkan dan LDR, namun belum mampu mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat karena peningkatan terbesar bukan pada kredit investasi tetapi kredit modal kerja dan kredit konsumsi.
Dari 17,3 persen peningkatan kredit di NTT, 25,5 persen merupakan kredit modal kerja, diikuti kredit konsumsi 16,7 persen. Sedangkan kredit investasi hanya mengalami peningkatan 1,2 persen. Dengan mencermati data-data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemauan perbankan untuk memberikan kredit investasi terutama sektor riil masih sangat rendah.

Readmore »»

Sosial Ekonomi Perikanan ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO